“SASTRA DI ANTARA PATRA”


Dharma wacana Purnama Kaenam 15 Desember 2005

Pura Buana Agung Kota Bontang

OM AWIGNAMASTU,

Agama adalah anugrah Yang Maha Kuasa. Sebagai anugrah agama adalah milik semua insan, dan bukanlah milik orang-orang yang berpendidikan semata, tetapi adalah juga milik mereka yang buta huruf. Karena itu Hindu berusaha agar semua orang yang tinggal di dalamnya mampu belajar tentang esensi dari agama. Pura sesungguhnya semacam kitab suci terbuka, artinya setiap orang yang datang ke Pura diharapkan mampu memetik pelajaran yang berharga.

Pura  adalah pusat umat Hindu mengadakan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan jasmani maupun rohani. Pura mengandung makna benteng pertahanan, atau tempat perlindungan bagi umat Hindu. Karena itu perlu adanya pemahaman yang mendetail tentang fungsi pura sebagai tempat belajar untuk meningkatkan kesadaran rohani, maupun perkembangan jasmani dari umat. Pura sebagai tempat bagi umat untuk mengadakan pertemuan-pertemuan yang sifatnya menggugah kesadaran rohani dari para pemeluk Hindu dalam menghadapi segala aktivitas duniawi yang semakin menumpuk. Bukan tidak mungkin antara kesibukan duniawi dan rohani sudah tidak seimbang. Banyak sekali kesibukan yang menjadikan umat lupa akan hakikat dari hidup yaitu sejahtera jasmani dan rohani. Karena itulah perlu adanya upaya-upaya memaksimalkan fungsi pura sebagai tempat mengkaji ajaran agama. Salah satunya adalah simbul-simbul yang ada kaitannya dengan agama Hindu.

Diantara simbul-simbul keagamaan yang masih belum begitu tergali adalah ukiran-ukiran atau yang disebut karang patra, yang terdapat dalam lingkungan pura dimana umat Hindu mengadakan persembahyangan. Yang sementara ini dinikmati dari ukiran-ukiran atau patra itu hanyalah sebatas keindahannya (sundaram). Padahal jika dikaji lebih dalam mengandung aspek satyam (kebenaran), dan aspek siwam (kesucian). Kata patra sendiri memiliki makna keadaan (desa, kala, patra), namun juga berarti sastra. Dan yang dimaksud dengan patra disini adalah pahatan seni ukir Bali, yang menyimpan makna mendalam tentang ajaran agama Hindu.

Dalam penyampaian ajarannya Hindu sangat memperhatikan tiga aspek yaitu keseimbangan antara kebenaran  (satyam) yang memudahkan hidup, kesucian (Siwam) yang mengarahkan hidup, dan keindahan (Sundaram) yang menghaluskan hidup. Ketiganya merupakan hal yang tak dapat dipisahkan, sehingga antara satu dengan yang lainnya saling mendukung.

Jika dalam hidup ini ingin memperoleh penghidupan yang lebih bagus atau lebih layak maka kuasailah ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan alat-alat modern dengan teknologi tinggi dewasa ini telah cukup menjamur. Disamping karena praktis teknologi moder  juga sangat mempercepat pekerjaan manusia. Pekerjaan yang seharusnya dikerjakan berhari-hari dapat dikerjakan dalam waktu beberapa jam atau bahkan beberapa menit. Hal ini menunjukan bahwa manusia makin hari makin berpikir maju dalam ilmu dan teknologi.

Namun disatu sisi mampukah kita untuk “eling”? Eling dalam artian sadar bahwa bagaimanapun kemajuan rohani harus pula diraih. Keseimbangan antara kemajuan teknologi modern hendaknya diimbangi dengan kemajuan dibidang rohani. Maju dibidang rohani bukan berarti kita harus memakai jubah kuno berjanggut panjang seperti pertapa. Maju dibidang spiritual dewasa ini hendaknya lebih ditekankan pada aspek karma kanda, artinya maju dalam prilaku yang baik, budi pekerti yang luhur, cinta damai, mencintai alam semesta atau peduli terhadap lingkungan.

Negara tercinta ini memerlukan keteladanan dalam berbuat baik. Di sebuah negara yang menjunjung Tuhan mengapa justru korupsi merajalela. Bukankah ini sangat ironis, disatu sisi tepat suci banyak berdiri, tetapi disisi lain kejahatan berdasi juga bersaing. Rakyat menderita busung lapar, sementara para pejabat hidup bergelimang harta. Dari keadaan ini nampaknya para pemuka agama boleh dikatakan belum berhasil dalam mewujudkan budi pekerti yang baik bagi umatnya.

Menghubungkan diri dengan Sang Maha Pencipta bukan hanya terjadi saat kita bersujud menyembah-Nya, tetapi hendaknya dipahami bahwa dimanapun berada Hyang Widhi senatiasa ada, dan kita selalu ada di dalam-Nya. Dengan pemahaman bahwa kita selalu ada dalam genggaman-Nya, maka keinginan berbuat curang, tidak benar, dan sebagainya akan hilang dengan sendirinya.

SENI MENGALIR DARI VEDA

Dalam hal menghubungkan diri dengan sang Maha pencipta atau yang dikenal dengan “Yuj”, yang menjadi Yoga, Veda mengajarkan tiga esensi dasar, yang merupakan sadhana, antara lain:

1. Mudra, yang berasal dari urat kata Mud, yang artinya membuat senang. Mudra adalah gerakan-gerakan atau sikap tangan yang menyenangkan para Dewa. Gerakan Mudra ini sangat beragam yang biasanya dilskuksn oleh Sulinggih saat mapuja. Mudra merupakan gerakan tangan yang sangat rahasia yang mengandung aspek Satyam yaitu kebenaran, Siwam yaitu kesucian, dan Sundaram atau keindahan. Karena itulah tidak sembarang orang boleh menggunakan Mudra. Hanya orang-orang sucilah yang boleh menggunakannya.  Masyarakat secara umum memiliki penggunaan yang terbatas seperti Anjali yang merupakan simbul dari lahir batin, dan amusti karana yang merupakan simbuldari Tri kona dan Tri Murti. Dari Mudra munculah berbagai seni tari yang terdiri dari seni tari sakral dan seni tari propan. Seni tari sakral seperti rejang Dewa, Sang Hyang Jaran, sang Hyang dedari dan sebagainya hanya boleh diperuntukkan bagi persembahan kepada para Dewa yang merupakan manifestasi Sang Hyang Widhi.

2. Mantra, merupakan lagu pujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya. Mantra adalah sarana menghubungkan diri dengan Sang Maha Pencipta dalam bentuk bahasa. Dari Mantra menimbulkan seni suara, seperti kakawin, kidung, macapat, bahkan sampai pada lagu-lagu modern dewasa ini. Seni suara dalam agama Hindu dipersembahkan kepada Tuhan. Mantra inipun memiliki tiga aspek yaitu Satyam, siwam dan sundaram. Karena itulah ada Kuta Mantra atau pusat dari mantra adalah sesuatu yang sangat sakral dan tidak boleh sembarang orang mengucapkan. Janganlah hal ini dianggap sebagai sesuatu yang menghambat kemajuan dunia spiritual Hindu. Justru rambu-rambu ini merupakan suatu upaya untuk menjaga aspek Siwam atau kesucian dari Mantra. Kuta mantra ibarat pintu rahasia untuk membuka kekuatan Tuhan, sehingga hanya orang-orang yang mampulah yang berhak membuka pintu rahasia ini.

3. Yantra, merupakan kiblat atau arah kemana kita menstanakan Sang Hyang widhi Wasa. Yantra dapat berupa gambar atau seni dua dimensi dan seni ukir atau gambar tiga dimensi. Atau dengan kata lain Yantra menimbulkan seni rupa yang dalam agama Hindu seni rupa juga di persembahkan kepada Tuhan. Pada akhirnya selain seni lukis, seni patung atau arca, maka berkembang pula banten yang juga merupakan simbul-simbul kebesaran Tuhan. Di samping itu juga munculnya aksara yang juga digunakan sebagai simbul atau stana dari Sang Hyang Aji Saraswati dalam manifestasinya sebagai Dewi Ilmu pengetahuan. Karena itu dalam Agama Hindu barang siapa menggunakan tulisan untuk hal-hal yang tidak baik maka itu adalah dosa, terlebih lagi aksara itu di gunakan tidak pada tempatnya, misalnya gambar-gambar Dewa Krisna yang banyak dicetak pada kaos, atau aksara sebagai simbul Tuhan seperti aksara Om di cetak dalam baju kaos. Maksudnya mungkin baik tetapi bayangkan ketika hendak mencuci baju, pakaian ini berbaur dengan pakaian dalam. Bukankah ini merupakan pelecehan terhadap agama sendiri? Gambar Dewa yang seharusnya di sakralkan  tetapi malah dicampur dengan pakaian dalam.

Diterbitkan oleh vaprakeswara

WA. 081346516533

Tinggalkan komentar